Muallaf adalah sebutan orang yang baru masuk islam. Banyak cerita dari para mualaf dalam perjalanannya menemukan hidayah islam, mulai dari cerita yang biasa-biasa saja hingga cerita yang paling sedih. Ada sebagian dari mualaf yang benar-benar di uji keyakinan dan imannya sehingga mereka mengalami keadaan yang benar-benar menyedihkan. Namun mereka tetap teguh dan optimis akan keyakinannya meskipun ujiannya begitu berat. Seperti kisah paling sedih wanita mualaf keturunan cina/tionghoa berikut ini. Silahkan Anda baca dengan penuh perasaan, dijamin bikin Anda ikut menangis.
Sebelum memulai cerita aku ini, izinkanlah aku untuk memohon maaf bila ada pihak-pihak yang tidak berkenan dengan cerita aku ini, terutama keluargaku. Untuk itu nama-nama orang dan tempat tidak akan aku sebutkan. Aku ucapkan terimakasih untuk Retno (bukan nama sebenarnya) dari Universitas T di kotaku P yang mau menuliskan kisah sejati aku ini. Semoga kisah sejati aku ini menjadi inspirasi buat orang yang membaca atau mengalami hal yang sama. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan Hidayah pada kita semua.
Aku, panggil saja “Mawar”, beurusia 30-an tahun dilahirkan di sebuah pulau di seberang pulau Jawa, di kota P. Aku lahir sebagai anak terakhir dari 4 besaudara. Kakakku pertama dan kedua, laki2, sedangkan yang ketiga perempuan. Kami berasal dari keluarga keturunan dan kami merupakan generasi ke 4 yang sudah menetap di negeri ini. Kakek buyut kami pendatang dari negeri jauh dari seberang di awal abad 20. Keluarga kami memulai bisnis benar2 dari bawah.
Menurut cerita orang tua kami, dulu kakek buyut kami hanya berjualan dengan pikulan bahan kebutuhan pokok seperti gula, garam, beras dll keluar masuk kampong. Usahanya baru berkembang pesat setelah pada tahun2 awal kemerdekaan, pemerintah pada waktu itu menggalakkan usaha yang dilakukan oleh bangsa sendiri/pribumi.
Waktu itu dikenal istilah Ali Baba. Ali untuk panggilan pribumi, sedangkan Baba untuk warga keturunan seperti kami. Pengusaha pribumi asli diberi kemudahan perizinan usaha, bahkan mengimport dari negara lain, tapi umumnya mereka tidak punya banyak modal. Waktu itu banyak warga keturunan yang banyak modal membeli izin usaha yang diperoleh pribumi, hingga memudahkan mereka melakukan export import ke negri tetangga (Singapura, Malaysia, Hongkong dll) yang pada waktu itu memang juga dikuasai oleh warga etnis kami.
Singkat cerita, bisnis keluarga kami benar2 menjadi semakin besar dan merambah segala bidang, mulai dari pertambangan, tambang emas, property, perkebunan dll. Boleh dibilang kekayaan keluarga kami sudah diatas rata2 dari orang kaya di negeri ini, above than ordinary rich.
Harta kekayaan kami amat melimpah. Sampai orang tua kami kadang kala risau seandainya kami sekeluarga (tiba2) meninggal sehingga tidak ada yang mengurus harta sedemikian banyaknya. Untuk itu kami sekeluarga tidak pernah me lakukan perjalanan dengan pesawat secara bersama2. Andai kami sekeluarga akan melakukan liburan pada saat dan tempat yang sama, maka biasanya kami dibagi menjadi 2 atau 3 penerbangan, Papa dan mama satu pesawat, dan kami sisanya juga dibagi 2 penerbangan lain. Sehingga apabila terjadi sesuatu musibah, maka akan tetap ada bagian keluarga kami yang masih selamat dan tetap bisa mengurus bisnis dan kekayaan kami.
Aku sengaja cerita panjang lebar tentang keluarga kami, sebab ini akan berhubungan sekali secara emosi dengan kisahku selanjutnya. Papa lahir dan dibesarkan di pulau ini, selepas SMA beliau melanjutkan sekolah bisnis di negeri H (Hongkong?) sehingga begitu kembali, beliau menjadi businessman handal, dan mempunyai banyak teman bisnis di berbagai negara. Papa orang yang rendah hati, pendiam, bicara terukur dan seperlunya, jarang marah pada anak-anaknya. Sedangkan mama berasal dari pulau lain, dia dulu pernah bekerja pada perusahaan kakek (orang tua papa), sebelum akhirnya bertemu papa dan menikah. Mama orangnya keras, pintar, lincah, banyak pergaulan, sehingga kadang kami berfikir, papa seperti takluk pada mama.
Banyak kebijakan perusahaan berasal dari ide mama, dan selalu sukses. Papa dan mama, memang pasangan serasi, saling mengisi kekurangan. Masa kecil aku lalui dengan penuh kebahagian. SD sampai SMA aku di sekolah swasta terkemuka di kota kami, yang siswanya banyak berasal dari anak pejabat, bupati, gubernur dll. Aku berbaur dengan siapa pun tanpa pandang golongan, agama dan ras. Kadang aku diundang untuk mampir bermain ke rumah mereka (anak bupati, gubernur) sepulang sekolah, sehingga aku mengenal lebih dekat keluarganya. Ini pula yang kelak bermanfaat buat perusahaan keluarga aku.
Di sekolah kami, ada pelajaran agama untuk setiap pemeluknya. Pada saat itu, jika ada jadwal pelajaran agama tertentu, maka bagi pemeluk agama lain diperbolehkan keluar kelas, tapi boleh juga tetap tinggal dikelas apabila menghendaki. Jadi misalnya hari ini giliran pelajaran agama Islam, maka murid non-muslim diperbolehkan meninggalkan kelas, begitupula sebaliknya apabila ada pelajaran agama lain. Tetapi aku sendiri tetap tinggal di kelas mendengarkan apa yang diajarkan ibu guru agama islam di kelas kami.
Saudara2 ku semua….
Entah kenapa aku yang sejak lahir dididik secara non muslim, bahkan tiap minggu aku beribadah di tempat ibadah kami, merasa tertarik dengan ajaran agama Islam. Aku sendiri tidak tahu datangnya dari mana. Semacam ada panggilan dari hati aku yang paling dalam, tapi saat itu aku pikir mungkin itu hanya rasa keingintahuan semata. Tiap mendengar azan, entah kenapa hati aku selalu bergetar. Di rumah kami yang besar, kadang hanya aku sendiri, orangtua kami selalu sibuk di Jakarta dan hanya beberapa hari di rumah dalam sebulan, kakak-kakak kuliah di luar negeri, sehingga rumah dengan 6 kamar besar, yang seharusnya cukup menampung 20 orang, hanya dihuni aku sendiri. Pembantu, sopir, satpam, tinggal di pavilion khusus terpisah dengan rumah induk. Dalam kesunyian itu hati aku merasa sejuk tiap mendengar ayat Al Quran yang kadang tidak sengaja aku dengarkan di TV.
Sebagai gadis remaja, tinggiku sekitar 160 cm, tentu sedang mekar2nya dan giat2nya mencari pacar. Teman2ku banyak mengatakan kalau tubuhku indah, proporsional, berwajah oriental, bakalan banyak menarik perhatian laki2 padaku. Entah kenapa saat itu aku tidak tertarik dengan laki2 berasal dari etnis aku. Sebaliknya setiap hari Ju’mat melihat siswa2 pria melakukan ibadah shalat Ju’mat, hatiku langsung bergetar, membayangkan andai salah seorang dari mereka adalah pacar aku, dengan wajah bersih bersinar dan masih basah tetesan air wudhu, berjalan ke masjid di seberang sekolah, ah… alangkah indahnya membayangkan wajah-wajah tersebut.
Tapi saat itu aku tahu diri, aku yang berasal etnis keturunan, apakah ada laki-laki pribumi yang mau menjadikan aku pacarnya. Aku tahu masih banyak dari mereka yang membedakan ras, dan berpacaran dengan ras kami masih dianggap memalukan, bahkan bisa jadi ejekan dan gunjingan di lingkungan keluarganya.
Aku pernah berpacaran dengan anak bupati, tapi kemudian dia memutuskan hubungan kami, dikarenakan ayahnya akan mencalonkan diri menjadi Gubernur, dan dia tidak mau ada anggota keluarganya yang bisa menghambat pencalonan tsb. Misalnya anaknya dengan berpacaran dengan ras lain (??). Walau alasan itu amat sangat mengada2 tapi aku terima dengan lapang dada. Memang aku sudah menyadari akan ada penolakan, karena aku berasal dari etnis non pribumi. Aku tahu orang tuanya tentu tak merestui anaknya berhubungan terlalu jauh dengan orang yang bukan dari ras mereka, dan berlainan agama. Walau begitu hatiku sudah bulat untuk kelak memiliki pasangan hidup seorang pribumi. Dan aku bahkan bersedia memeluk islam sebagai agamaku. Kelak keputusan hidupku ini akan menjadi perjalanan panjang dan penuh cobaan dalam hidupku.
Selepas SMA aku melanjutkan study ke Ausie (Australia) lalu ke negeri Paman Sam (Amerika) mengikuti kakak2ku. Tak banyak yang perlu aku ceritakan dengan masa studiku. Hampir 5 tahun kemudian aku kembali dengan gelar master di tangan dan aku mengabdi untuk membesarkan bisnis keluarga aku. Dalam waktu singkat perusahaan memperoleh profit meningkat pesat, terus membesar serta merambah ke banyak sektor bisnis. Aku banyak memiliki akses ke para petinggi di daerahku karena semasa sekolahku dulu aku sudah mengenal keluarga mereka. Semua urusan perijinan bisa aku selesaikan dengan mudah.
Aku masih tetap melajang di pertengahan usia 20an tahun. Banyak pria berusaha menarik perhatianku, dari pengusaha2 muda sukses bahkan sampai pemilik perusahaan2 besar. Tapi hatiku tidak bergetar sama sekali. Aku belum menemukan seseorang yang benar2 menjadi soulmate ku. Sekedar mencari suami amat mudah bagiku, ibarat hanya menjentikkan jari maka puluhan pria akan mendatangi aku. Tapi aku benar2 mencari seorang soulmate, belahan jiwa sejati untuk mendampingi aku.
Sampai suatu ketika perusahaan kami memperoleh karyawan baru dari kantor cabang kami di pulau Jawa. Orangnya 3 tahun lebih tua dari ku, wajahnya bersih, dia berasal dari etnis pribumi Jawa. Tutur katanya lemah lembut, sopan, tubuhnya tinggi, proporsional, dan ah…ini dia..dia seorang muslim yang shaleh. Sejak kedatangannya dikantor kami, para wanita nggak habis2nya membicarakan dia, dan berlomba mendapatkan dia. Menurut laporan kantor, dia amat rajin, jujur dan berprestasi di kantor lama hingga dipromosikan ke pekerjaan lebih tinggi dan menantang di kantor kami. Kebetulan pekerjaan yang akan dia kerjakan menjadi satu divisi denganku. Aku akan banyak berhubungan dengan dia.
Pada bulan2 pertama aku bersikap ‘Jaim’ jaga image, karena aku anak dari pemilik perusahaan ini. Tapi lama2, hatiku nggak bisa berbohong ,.. hatiku sedikit demi sedikit tapi pasti, lu luh juga… aku jatuh cinta. Pernah suatu saat sehabis mengunjungi kantor gubernur aku semobil dengannya. Di tengah jalan dia minta izin untuk berhenti sebentar di Masjid Raya di kotaku untuk shalat Ashar. Dari dalam mobil, aku perhatikan gimana dia berwudhu, lalu melangkah masuk ke masjid dan melakukan ibadah …. ahhh!. Andaikan saja aku kelak bisa mengikuti di belakangnya.
Awalnya aku memanggil dia dengan sebutan formal dikantor ‘Pak’ dan dia juga memanggilku ‘Ibu’ Tapi lama kelamaan secara tidak sengaja aku mulai memanggil dia ‘mas’, karena aku sering melihat keluarga Jawa memanggil orang lebih tua, suami, kakak, dengan sebutan mas. Mulanya dia agak rikuh setiap aku panggil demikian, tapi lama kelamaan mulai terbiasa. Tapi itu hanya aku lakukan pabila hanya sedang berdua, tidak di depan orang2 kantor. Akupun mulai meminta dia memanggilku ‘Dik.’ Aku merasa risih setiap kali dia panggil aku ‘Ibu Mawar’. Seiring dengan waktu, sesuai pepatah jawa, “witing tresno jalaran soko kulino”, cinta akan tumbuh karena terbiasa selalu bersama-sama.
Saudara2ku …
Bisa dibayangkan gimana awal kisah cinta kami, di dalam mobil yang disupiri sopirku, kami sama-sama duduk di belakang. Awalnya kami hanya membicarakan dan membahas berkas2 pekerjaan, kadang secara tidak sengaja tangan kami saling sentuhan. Dan dia secara sopan segera menarik, dan minta maaf. Ahh! … sebel rasanya. Padahal akulah yang menginginkannya. Tapi itu tidak berlangsung lama, pada akhirnya dia takluk juga, kadang aku biarkan tangan dia memegang berkas, lalu aku pura-pura membahasnya sambil tanganku menyentuh jari dan tangannya. Kadang aku genggam jarinya, dan lama kelamaan dia memberi response, dia juga menggenggam tanganku …ahh!. Kadang kalau mobil kami sudah mau sampai tujuan, aku pura2 minta supirku untuk kembali ke tempat lain, aku pura2 ada yang tertinggal … padahal hanya ingin berlama2 dengan dia (sebut saja mas Fariz) di mobil.
Pernah suatu saat aku pura2 ada yang tertinggal dan menyuruh sopirku membawa kami ke rumah. Begitu mobil memasuki halaman rumahku yang besar, wajahnya tampak pucat pasi. Dia tampak ketakutan dan gugup. Dia bilang nanti kalau papaku (alias big boss dia) marah kalau melihat dia jam kerja begini mampir kerumah dia. Aku bilang tak perlu takut, bukankah aku, anak big boss, yang membawanya kesini. Hampir setahun sudah dia bekerja bersama denganku, dan hubungan kami sudah makin erat, tapi dia belum menyatakan cintanya padaku. Mungkin takut aku akan menolaknya, apalagi keyakinan kami pada saat itu masih berlainan. Hingga suatu saat dia menelponku, dan mengajak bertemu di restoran di luar kota , dia memintaku datang tanpa sopir. Dia tidak mau ada orang kantor melihat kami berdua.
Di restoran itu dia menyatakan cintanya… langsung saat itu juga aku terima. Dan aku katakan pada dia, kalau aku merasa mas Fariz adalah soulmate ku. Aku akan bersedia memeluk Islam mengikuti agama yang dia anut. Aku juga katakan kalau memang aku sudah sejak lama tertarik dengan Islam, jadi mas Fariz semoga bisa menjadi pembimbingku. Aku bisa melihat air mata dia meleleh dari kedua matanya. Seumur hidupku baru kali ini aku melihat seorang laki2 berlinangan air mata karena aku, tidak terasa akupun tak kuasa menahan airmata meleleh dipipiku. Aku yakin aku sudah mendapatkan ‘Soulmate’ ku dan akan aku pertahankan sampai kapanpun dan dengan cara apapun.
Di kantor kami bekerja seperti biasa, seperti tidak ada hubungan apapun. Di luar kantor kami benar2 sepasang kekasih yang sedang jatuh cinta, dia mulai mengajariku shalat, dan sedikit bacaan doa. Dia memang lelaki taat, menjaga kesopanan, tidak pernah melebihi batas. Kadang aku yang menggoda, tetapi dia selalu bilang, sabar tunggu waktunya. Serapat apapun kami tutupi hubungan kami, akhirnya sedikit demi sedikit bocor juga di kantor kami. Sampai akhirnya terdengar di telinga papaku.
Suatu hari tiba2 papaku datang ke ruanganku padahal papa amat sangat jarang datang ke ruang kerjaku, jika ada keperluan biasanya aku dipanggil. Aku lalu diajak bicara berdua dengan papa. Mula2 papa tidak menanyakan hubunganku dengan Fariz, tapi sedikit demi sedikit dia mulai mengarahkan pembicaraan kesana. Sampai akhirnya dia menanyakan kebenaran hubunganku dengan Mas Fariz. Aku tidak sanggup menjawab, wajahku tertunduk. Papa terus menatapku, menunggu jawabanku. Aku tidak sanggup berbohong, kalau aku bilang tidak, itu bertolak belakang dengan hati ku, sebaliknya kalau aku bilang iya, aku khawatir pekerjaan Mas Fariz menjadi taruhan. Akhirnya aku hanya bisa menangis.
Esok harinya, Mas Fariz tidak hadir di kantor, menurut orang2 kantor, dia dipindahkan kembali ke Jawa dan aku kehilangan kontak dengannya. Seminggu kemudian dia menelpon. Dia bercerita panjang lebar bahwa pada hari itu setelah papa menemuiku, ternyata papa langsung menemui dia, dan keesokan paginya dia sudah harus kembali ke kantor lama. Dia juga cerita kalau keadaan semakin parah, karena nyaris tiap karyawan di kantornya sudah mendengar kabar hubungannya denganku. Dan banyak yang menggunjingkan kalau mas Fariz, mengincar harta dan kedudukan dengan memacari anak big bos. Sampai berulangkali menyebut nama Allah dan bersumpah kalau dia mencintaiku bukan karena itu semua. 2 minggu kemudian, dia mengundurkan diri dari perusahaan kami, tapi kami tetap saling berhubungan via telepon. Dia berjanji berusaha mencari pekerjaan di perusahaan lain yang punya cabang di kotaku, sehingga bisa kembali menemuiku. Tuhan memang sudah berencana. 3 bulan kemudian mas Fariz sudah mendapat pekerjaan dan ditempatkan di kotaku walau gajinya jauh lebih kecil. Dia bilang sekarang sudah bebas berhubungan denganku. Aku amat terharu, dia korbankan karirnya karena aku. Aku berjanji apapun yang terjadi aku tidak akan tinggalkan dia.
Sekarang kami bebas berhubungan tidak perduli lagi dengan omongan orang2 kantor, karena dia toh tidak lagi bekerja di perusahaan kami ini. Tapi ternyata papa kembali mengetahui ini, dan kali ini malahan mama ikut turun tangan. Aku diceramahi habis2an.
Mereka sebenarnya tak membedakan ras dan tak keberatan berhubungan dengan siapapun, Mereka curiga aku akan pindah agama. Dan itu kurang bisa mereka terima. Aku menjelaskan baik_baik bahwa aku sudah dewasa bisa mengambil keputusan hidup sendiri tanpa tergantung papa mama. Ternyata jawaban itu membuat mereka murka dan tersinggung. Mereka katakan bahwa tanpa mereka jalan hidupku tidak akan seperti ini. Banyak orang rela mati demi merasakan hidup sepertiku. Rumah mewah, sopir tersedia tiap saat, mobil mewah ada di garasi, uang melimpah, dihormati kemana saja pergi dll. Mereka juga katakan, tanpa mereka aku tidak akan pernah sanggup memperoleh kehidupan seperti ini. Aku hanya menangis mendengar apa yang mama papaku katakan. Tapi hati aku sudah bulat apapun yang terjadi aku tidak akan meninggalkan Mas Fariz. Cinta pertamaku dan terakhir.
Walau orang tuaku terus menentang, cintaku ke mas Fariz tidak pernah surut. Akupun makin giat memperdalam Islam. Seringkali saat istirahat kantor, aku pergi ke toko buku besar di Mal. Aku membaca-baca buku tentang Islam. Pernah aku mengajak orang di kantor untuk ikut aku ke toko buku tersebut. Dan dia tegur aku, karena dia pikir aku salah memilih bagian rak buku. Dia ingatkan aku kalau aku di bagian rak buku2 Islam. Aku bilang memang benar, aku mau membaca buku2 tentang Islam. Semakin hari hubunganku dengan papa mama makin renggang. Padahal aku sudah bicara sebaik mungkin dengan mereka. Kakak2ku semua juga sudah terprovokasi. Mereka menjauhiku. Kedua kakak laki2 ku menikah dan menetap di Jakarta menjalankan perusaahan kami disana, sehingga papa dan mama sekarang lebih banyak menetap di kota kami. Di rumah, aku semakin dianggap bukan lagi bagian keluarga. Mereka tak lagi mengajak makan bersama-sama di meja makan. Pembantu disuruh memanggilku untuk makan pabila papa mama dan kakak perempuanku selesai makan. Makanan yang ada di meja sisa mereka yang aku makan. Pembantu tidak diperbolehkan menambah makanan. Bayangkan, aku memakan seadanya sisa mereka. Andai mereka makan ayam, maka aku hanya kebagian ceker dan kepala saja. Bisa dibayangkan bagaimana sakit hatiku. Tapi aku tetap bersabar, dan mas Fariz selalu mengingatkan aku untuk tetap berbakti kepada orang tua. Padahal kalau mau, bisa saja aku pergi ke restoran paling mahal di kota ku ini.
Puncaknya terjadi di suatu malam. Kakakku sebenarnya kasihan kepadaku, sehingga kadang dia menyimpan sebagian makanan yang baru dimasak di dapur. Sehingga pada saat mama papa selesai makan, dia diam2 menghidangkan untukku. Suatu ketika secara tidak terduga, papa mama kembali ke meja makan dan memergoki kakakku membawa makanan yang dia simpan di dapur. Langsung mamaku merebut piring yang dibawa kakakku dan melemparkannya ke lantai. Sambil menyindir bahwa kakakku tak perlu kasihan padaku karena aku sanggup hidup tanpa diberi makan dari mama papa dan bisa hidup mandiri tanpa mereka.
Ohh….! Mereka rupanya sudah amat membenciku. Hancur berkeping2 hatiku pada saat itu. Aku hanya bisa menangis, tapi aku tidak menyesal, dan aku akan terus bertahan dengan pilihan hidupku.
Mas Fariz menyarankan untuk bicara baik-baik dengan mama dan papa, mudah2an mereka luluh dan mengerti. Suatu malam, aku berkesempatan mendatangi dan berbicara dengan mereka. Dengan baik2 dan sopan aku meminta maaf pada mereka. Aku jelaskan apa yang hatiku rasakan, aku tumpahkan semua. Tetapi justru itu membuat mereka bertambah murka. Mereka menuduhku telah diguna2 dan menyarankanku supaya sadar. Oh Ya Allah…! Aku sehat wal afiat, Insya Allah saat itu tidak ada satu pun guna2 pada diriku. Semua keinginan murni dari hatiku, panggilan jiwaku, yang tidak bisa lagi aku cegah. Aku jelaskan pada mama papa bahwa aku sudah cukup umur dan bukan lagi gadis remaja sehingga apapun keputusanku, aku bisa pertanggungjawabkan. Aku bisa mandiri andai keputusanku memang menghendaki demikian. Papa mama tetap pada pendirian mereka. Bahkan mereka menantangku, kalau sanggup hidup mandiri, sekarang juga serahkan seluruh harta yang aku punya selama ini, yang aku dapatkan selama hidup dengan mereka.
Karena tekatku sudah bulat. Malam itu pula seluruh kartu credit, ATM, buku2 bank aku serahkan pada mereka. Uang yang aku punya benar2 hanya tinggal yang ada di dompet. Sepertinya tinggal menunggu waktu saja untuk meninggalkan rumah ini. Esok paginya karena ada keperluan aku ingin membuka lemari besi tempat penyimpanan surat2 berharga di rumah kami. Tapi berulang kali mencoba, aku tidak bisa membukanya. Ternyata nomor kombinasinya sudah diubah. Padahal didalamnya ada barang2 penting pribadiku : Ijasah, perhiasan dll. Aku mene lpon papa menanyakannya, dan aku mendapatkan jawaban yang menyedihkan hatiku. Papa menyindir kalau sanggup hidup mandiri, kenapa masih mau membuka lemari besi milik keluarga, pasti ada barang yang mau dijual. Aku benar2 dikucilkan. Mereka menyiksa aku dengan caranya hingga mereka pikir aku akan menyerah dan mengikuti mereka. Aku mengadu ke mas Fariz dan mengatakan akan meninggalkan rumah. Dia tidak bisa berkata apa-apa. Hanya mengingatkan aku jangan sampai memutuskan hubungan dengan orang tua.
Beberapa hari setelah kejadian itu, aku meninggalkan rumah. Aku kost didekat kantorku. Aku berpamitan baik2 pada mama dan papa. Tetapi mereka menoleh pun tidak. Aku masih punya cukup uang di dompet. Aku bersumpah tak akan meminta uang lagi sepeserpun dari mereka. Aku bertekad membuktikan kata2 ku untuk hidup mandiri tanpa harta siapapun demi mempertahankan keyakinanku. Selama aku bekerja di perusahaan papa, memang secara formal aku di gaji sesuai dengan posisi kerjaku di perusahaan. Tapi disamping itu tiap bulan, tentu diluar formal perusahaan, aku mendapat uang saku dari papa hampir 20x lipat dari gaji resmiku. Sehingga penghasilan sebulan bisa cukup untuk hidup mewah setahun. Bahkan seluruh uang simpananku di bank, mencapai 10 digit. Bahkan mungkin cukup untuk biaya hidup seumur hidupku tanpa bekerja.
Aku berharap perusahaan papa masih memberi gaji dan itu memang uang hasil kerjaku. Tapi diakhir bulan aku tidak memperoleh sepeserpun. Ketika aku tanyakan ke bagian pembayaran gaji, ternyata mereka sudah diperintahkan untuk menahan gajiku. Ya Allah, mereka benar2 melakukan cara apapun agar aku benar2 menderita dan menyerah. Saat itu juga aku langsung mengundurkan diri dari perusahaan papa. Aku tinggalkan perusahaan itu selama2nya. Saat aku adukan hal ini ke mas Fariz dia amat sangat sedih dan meminta maaf padaku, karena gara2 dia hidupku menderita. Dia rela andai aku tidak kuat dan merubah keputusan. Aku peluk dia dan aku pastikan keputusanku tidak akan berubah, dan aku semakin ingin bisa hidup bersama dia. Saat itu hanya dialah sandaran hidupku. Dengan berlinang air mata, dia sekali lagi menanyakan padaku, apakah aku menyesal dengan keputusanku, apakah aku rela menjadi muslimah dan menjadi istrinya. Saat itu juga aku cium tangannya dan aku katakan, aku korbankan seluruh kehidupanku hanya untuk bisa hidup bersamanya dan tidak akan mudur ataupun menyesalinya, apapun yang terjadi aku akan menghadapi dengan ikhlas lahir dan batin.
Singkat cerita, dengan diantar mas Fariz aku mengucapkan 2 kalimah syahadat di sebuah masjid di kota kami, disaksikan imam dan beberapa jemaah masjid tersebut. Akhirnya penantian panjangku tercapai sudah, walau harus mengorbankan kehidupanku. Tapi aku tak pernah menyesali. Dia mengajakku segera menikah di kota kelahirannya, karena kebetulan perusahaan tempat dia bekerja akan memindahkan dia ke pulau Jawa.
Sebelum menikah, kami berdua mendatangi rumah papa dan mama, kami akan mohon restu baik2 pada mereka. Tetapi satpam yang berjaga dipintu gerbang mengatakan kalau dia diperintahkan tidak membuka pintu bila kami berdua datang. Sebenarnya bapak satpam tersebut bersedia membuka pintu karena dia masih mengenalku. Tetapi aku melarangnya, karena khawatir akan mencelakakan pekerjaan dia. Biarlah cukup aku saja yang menderita, aku tidak ingin orang lain ikut terkena akibatnya. Aku tinggalkan secarik surat yang isinya memohon doa restu dari mama papa bahwa aku akan menikah dengan mas Fariz, juga aku katakan kalau aku sudah jadi muslimah. Aku bisa melihat mata bapak satpam itu berkaca2 sewaktu aku katakan aku sudah jadi mualaf.
Keluarga mas Fariz menanyakan ketidakhadiran keluargaku di pernikahan kami. Tapi setelah mas Fariz menceritakan panjang lebar, mereka mau memahami. Kami menikah secara sederhana. Keluarganya amat sangat menerimaku dengan hangat dan tak mempermasalahkan ras keturunanku Ibu mertuaku amat sayang kepadaku. Setelah menikah, aku dan mas Fariz menetap di Jawa. Aku amat sangat bahagia, bisa menjadi pendamping hidupnya. Aku merasakan dia bukan sekedar suami, tapi memang benar2 soulmate hidupku yang aku cari2 sepanjang hidupku. Aku hidup di rumah sederhana, hari2 kulalui dengan penuh kebahagiaan dan aku tak mengeluh sedikitpun dengan yang mas Fariz berikan untukku. Aku tidak lagi bekerja, karena aku benar2 ingin mengabdi pada suamiku. Disamping itu semua ijasahku masih tersimpan di lemari besi, aku tidak bisa melamar pekerjaan dimanapun. Aku ingin buktikan bisa hidup mandiri dengan suamiku.
Mas Fariz amat sangat menyayangiku, setiap pagi sebelum berangkat ke kantor dia memelukku. Tiap hari aku bawakan ‘lunch box’ untuk makan siang karena aku tidak mau dia makan makanan dari masakan orang lain. Aku benar2 posesif, ingin memiliki dan melayani dia secara total. Setiap hari aku bangun sebelum dia bangun, dan aku baru tidur setelah dia benar2 tidur, untuk memastikan dia sudah benar2 tidak perlu aku layani lagi. Aku siapkan celana, baju, kaus kaki dia tiap pagi sebelum berangkat kerja. Sehingga dia tak perlu lagi memikirkan pakaian apa yang harus dia pakai tiap pagi. Bahkan aku potongkan kukunya bila sudah panjang Pokoknya dia benar2 aku jadikan pangeran bagi diriku.
Tiap malam sebelum tidur, kami selalu mengobrol dan saling mengajarkan bahasa. Dia mengajariku bahasa jawa, sedangkan aku mengajari dia bahasa mandarin. Dia amat cepat belajar mandarin dalam waktu singkat dia sudah menguasai kata2 yang umum diucapkan, kadang mengajakku bicara mandarin di rumah. Memang perusahaan tempat dia bekerja milik keluarga etnis china seperti aku dan banyak berhubungan dengan warga keturunan china, sehingga bila mampu berbahasa akan memberi keuntungan tambahan.
Suatu ketika dia pulang membawa sepeda motor, dia katakan kalau kantornya memberinya pinjaman cicilan motor. Memang hanya sepeda motor, tapi aku sangat bahagia sekali dengan yang dia dapatkan. Berulangkali dia minta maaf tidak bisa belikan aku mobil mewah seperti yang pernah aku miliki dulu. Aku katakan motor yang sekarang kita miliki bagiku jauh lebih mewah dari mobil yang dulu aku miliki. Karena motor ini bukan sekedar dibeli dengan uang, tapi juga dengan cinta, yang tidak akan ternilai berapapun banyaknya uang. Kehidupan perkawinan kami amat indah, kalau di rumah nyaris kami tak bisa berjauhan. Karena tiap hari bagi kami adalah bulan madu, maka hanya setahun kemudian lahirlah anak pertama (dan satu2nya) kami. Bayi laki2 itu kami namai, sebut saja ‘Faisal’. Mas Fariz yang membacakan Azan dan iqomat sesaat setelah bayi kami lahir. Aku merasa lengkap sudah kebahagiaanku. Tiap hari aku tambah bahagia bisa merasakan ada 2 orang “Fariz” di dalam rumahku. Saat mas Fariz ke kantor, aku di temani Fariz kecil, bayiku. Oh alangkah bahagianya. Aku mencintai 2 orang yang sama darah dagingnya.
Tiga tahun sudah anak kami hadir bersama kami. Mas Fariz terus bercita2 ingin mendatangi orangtuaku, oma opa si Faisal. Dia benar2 ingin memperkenalkan cucu mereka dan menyatukan aku dengan papa mamaku lagi. Dia berharap dengan kehadiran Faisal, akan meluluhkan hati orang tuaku. Tapi tiap kali aku menelpon, papa mamaku masih bersikap seperti dulu. Bahkan waktu aku katakan bahwa mereka sudah mempunyai cucu dariku, mereka hanya menjawab, kalau mereka tidak merasa mempunyai keturunan dariku …Ohh! malangnya anakku. Aku amat sedih, teganya papa dan mamaku berkata seperti itu. Aku masih memaklumi apabila mereka membenciku, tapi jangan pada anakku, cucu mereka, darah daging mereka sendiri.
Mas Fariz hanya menyuruhku bersabar, dia percaya kelak papa dan mama akan menerima mereka. Tapi sebelum harapan mas Fariz terpenuhi, musibah mulai datang...
Suatu ketika, mas Fariz pulang ke rumah lebih awal, dia cuma merasa nggak enak badan seperti masuk angin. Aku menyuruhnya segera istirahat dan tidur dan memberi obat penghilang sakit. Malam harinya, tubuhnya mulai panas dan menggigil. Keesokan paginya aku mengantar dia ke dokter, waktu itu dokter hanya katakan kalau mas Fariz hanya demam biasa sehingga hanya diberi obat penurun panas dan disuruh istirahat. Tapi malamnya tubuhnya tetap panas, dan menggigil bahkan mengigau. Aku ajak mas Fariz untuk ke rumah sakit. Tapi dia menolak, karena dia bilang hanya demam biasa, dan tak ap-apa, beberapa hari pasti sembuh.
Sampai hari ke empat kondisinya makin parah dan tidak sadarkan diri, bahkan dari hidung keluar darah. Dengan pertolongan para tetangga, suamiku segera dibawa ke RS. Hasil pemeriksaan darah menunjukkan trombosit tinggal 26.000. Padahal normalnya harus diatas 150rb. Suamiku terkena demam berdarah, Dokter menyalahkan aku kenapa tidak segera dibawa ke RS lebih awal, karena serangan terberat demam berdarah adalah pada hari 5. Kalau kondisi tubuh tidak kuat, bisa amat berbahaya.
Besoknya, hari ke 5, memang benar2 makin parah kondisi suamiku, napas makin berat, trombositnya belum beranjak naik, tubuhnya sudah benar2 digerogoti penyakit itu, malam itu setengah mengigau, dia memanggil namaku, aku genggam tangannya dan aku dekati telingaku ke mulutnya, aku bisa mendengarkan dia mencoba mengucapkan sesuatu, dan air matanya meleleh. Dia coba ucapkan kata2 “Maafkan aku” lalu aku tenangkan dia, kalau tidak ada yang perlu dimaafkan. Aku ikhlas lahir bathin mendampinginya. Setelah mendengar kata2ku dia tampak tenang, lalu dengan 1 tarikan napas dia mencoba mengucapkan “Lailahailallah” lalu pergi selama2nya meninggalkan aku. Dia pergi di pelukan aku.
Aku ingat suatu saat dia pernah berucap, andai Tuhan mengijinkan, dia ingin meninggal terlebih dahulu dari aku dan dalam pelukanku, sebab ia ingin aku menjadi orang terakhir dalam hidupnya yang dia lihat. Aku sempat memarahi dia, jangan bilang seperti itu. Tapi dia bilang serius, kalau dia tidak akan sanggup kalau aku yang meninggalkan dia terlebih dahulu. Ternyata Tuhan benar2 mengabulkan permohonannya. Orang yang aku jadikan sandaran satu2nya dalam hidup ini telah pergi selama2nya. Tidak terkirakan amat sedih dan hancurnya hatiku. Andai aku tidak ingat dengan si kecil Faisal, mungkin aku sudah ingin segera menyusul mas Fariz di alam sana.
Mas Fariz benar2 orang yang jujur dan baik, waktu penguburan seluruh rekan2 kerja, bahkan big boss tempat bekerja hadir. Waktu aku tanyakan apakah ada hutang piutang mas Fariz yang harus aku selesaikan. Mereka katakan tidak ada sama sekali, bahkan kantornya memberikan santunan 4x gaji, ditambah uang duka dari rekan2nya. Aku juga ditawarkan bekerja di perusahaan tersebut. Tapi untuk saat itu aku benar2 tidak sanggup melakukan apapun. Aku merasa setengah dari nyawaku sudah hil ang. Selama 3 bulan berduka, aku tidak sanggup pergi dan melakukan apa pun. Bahkan tiap tidur aku masih membayangkan mas Fariz disampingku.
Akhirnya untuk sementara waktu aku tinggal dengan ibu mertuaku, supaya Faisal ada yang mengasuh. Rumah dan motor aku jual, karena aku tak sanggup membayangkan kenangan bersama mas Fariz setiap aku melihatnya. Hampir setengah tahun tinggal dengan mertuaku, sampai akhirnya aku putuskan kembali ke kota asalku. Sebenarnya ibu mertuaku amat baik dan sayang padaku. Tapi aku tahu diri tak mungkin selamanya bergantung pada siapapun. Aku harus bisa mandiri membesarkan anakku, satu2nya hartaku yang tersisa.
Aku pulang ke kota asalku dengan sisa uang yang aku punya. Lalu aku mengontrak rumah, dan membuka toko kecil2an di depannya. Tetapi mungkin karena masih terus berduka dan terbayang suamiku, sehingga aku kadang kurang memikirkan usahaku ini, sampai akhirnya usahaku ini bangkrut. Tokoku aku tutup, uangku habis untuk membayar tagihan2 para suplier barang, sementara penjualanku tak seberapa menguntungkan. Aku sebenarnya tak pernah putus asa apapun aku jalani asal halal. Pernah aku coba jadi pelayan restoran, tapi hanya beberapa bulan, karena anakku tidak ada yang jaga. Sampai akhirnya aku benar2 kehabisan uang, tidak sanggup lagi membayar kontrakan. Dengan membawa koper isi pakaian aku menggendong anakku, berjalan tanpa tujuan. Aku benar2 bingung akan kemana. Pernah terlintas di benakku untuk kembali ke keluargaku. Tapi justru dengan kondisi seperti ini mereka pasti akan merasa menang. Mereka akan tertawa terbahak2 dan terus bisa mengejekku seumur hidupku, bahwa aku gagal dalam memilih jalan hidup.
Akhirnya ditengah rasa putus asa, aku teringat masjid tempat dulu aku pertama kali mengucapkan kalimat syahadat. Masjid itu memang bukan masjid raya di kota kami, tapi karena masjid yang tua dan bersejarah, maka banyak jemaah yang datang. Aku berpikir, dulu aku memulai jalan hidupku dari masjid itu, sehingga kalaupun jalan hidupku berakhir aku ingin di masjid itu pula. Aku datangi masjid tersebut Dan aku shalat mohon petunjuk. Anakku karena kelelahan tertidur di sampingku.
Aku tidak punya uang untuk membeli makanan. Akhirnya aku hanya bisa menangis. Rupanya tangisku didengar seorang bapak, dan beliau rupanya imam masjid tersebut dan dia pula yang dulu membimbingku membaca syahadat. Aku tidak lupa dengan wajahnya tetapi dia pasti sudah tidak ingat, karena wajahku tak sesegar dulu lagi. Sewaktu aku perkenalkan diriku dan aku katakan bahwa aku dulu mualaf yang beliau bimbing, dia langsung ingat tapi juga kaget dengan kondisiku yang seperti ini. Akhirnya aku ceritakan semuanya pada beliau, sebab aku merasa tidak ada lagi orang di dunia ini yang aku jadikan sandaran hidupku.
Setelah selesai mendengar ceritaku, dia menyuruh aku agar jangan pergi kemana2, dan tetap tinggal di masjid, beliau juga menyuruh salah seorang jemaah untuk membelikan makanan untuk aku dan anakku. Sebentar kemudian dia pergi meninggalkan aku, sambil berpesan akan segera kembali menemuiku (rupanya dia pergi mencari tempat untuk aku tinggali). Tidak lama beliau kembali menemuiku, sambil tersenyum dia katakan, mulai malam ini aku sudah memperoleh tempat tinggal. Aku diajak ke belakang masjid, disitu ada sebuah bangunan tambahan yang terdiri dari beberapa ruangan. Biasanya ruangan itu untuk gudang menyimpan peralatan masjid, seperti tikar, kursi2 dll. Salah satu ruangnya tampak sudah kosong, dan dia menunjuk bahwa itulah rumahku. Aku boleh menempatinya selama mungkin aku mau. Ruang di sebelahnya ditempati oleh pak tua penjaga masjid, sehingga aku ada yang menemani. Ruangan tersebut hanya berukuran kurang lebih 2x2m. Pak Imam masjid itu juga menambahkan, kalau nanti aku diberikan honor sekedarnya, kalau aku mau membantu2 membersihkan masjid, sehingga cukup untuk makan. Bahkan beliau menambahkan kalau aku bisa datang kerumahnya sekedar2 membantu2 istrinya memasak, karena memang rumah beliau hanya beberapa ratus meter dari masjid.
Alhamdulillah, aku amat bersyukur ternyata Allah mendengar doaku. Aku ingat, bahwa Allah tak akan menguji hambanya dengan melebihi beban yang sanggup dia pikul. Aku sudah bersyukur bisa memperoleh tempat berteduh, Walau hanya kamarnya kecil (jauh lebih kecil dibanding kamar mandiku saat dirumah orangtuaku). Ada lagi yang membuatku merasa tenang, karena aku tinggal berdekatan dengan rumah Allah, setiap aku merasa sedih, aku tinggal masuk ke dalam masjid, dan mengadukan langsung pada Allah. Karena tinggal dekat dengan masjid, otomatis shalatku tidak pernah terlewatkan sekalipun. Alhamdulillah, hidupku sedikit demi sedikit mulai tenang. Aku sering membantu istri pak Imam memasak di rumahnya. Imbalannya, beliau selalu membekali makanan untuk aku bawa pulang. Sehingga aku tidak perlu risau memikirkan makanan sehari2. Kalau pak Imam sekeluarga ada keperluan keluar kota, akulah yang dititipi untuk menjaga rumahnya, dan aku bisa tinggal di rumahnya. Sebenarnya mereka menawarkan untuk tinggal bersama mereka. Tapi aku tahu diri tidak mau terus menerus merepotkan orang lain.
Pekerjaanku rutin setiap hari adalah membersihkan halaman masjid, membersihkan kaca jendela, Sedangkan pak tua mengepel lantai masjid. Tiap minggu aku mendapatkan honor sekedarnya dari hasil kotak amal di masjid, tapi kadang aku tidak mendapatkan sepeser pun, karena kadang sudah habis untuk keperluan masjid, tapi aku lakukan itu dengan senang hati dan ikhlas. Sementara ini aku benar2 ingin mengabdi pada Masjid ini, sebagai tanda terimakasihku. Aku tidak mau bersusah payah kesana kemari mencari pekerjaan, Aku percaya kelak masjid ini pula yang akan memberiku jalan memperoleh pekerjaan. Kadang pada malam hari aku duduk2 diteras masjid, mengobrol dengan pak tua. Dia bercerita kalau anak2nya masih ada di kampung, tapi dia juga tak mau merepotkan anak2nya. Selama masih kuat, dia tak mau merepotkan orang lain. Lalu saat giliran aku bercerita, kadang aku bingung harus cerita apa..???
Apa aku menceritakan kalau dulu aku pernah naik kapal pesiar keliling EROPA, atau pernah menginap di hotel mewah di LAS VEGAS – Amerika, atau saat kuliah aku punya apartment mewah di Australia. … Ahh! pasti dia akan tertawa dan menganggap aku berkhayal, sebab jangankan tinggal di hotel, uang yang aku punya tidak lebih banyak dari Rp 20.000,-.
Dulu tiap minggu aku bisa membeli peralatan make up, eye shadow, lipstick berharga jutaan rupiah. Sekarang ini make up aku hanyalah air wudhu setiap aku shalat. Tetapi justru banyak yang mengatakan kalau wajahku tetap bersih, cantik dan alami. Kadang orang berpikir aku masih memakai make up. Yah…! mungkin Allah yang memakaikan make up untuk aku. Kecantikan datang dari dalam, “Inner Beauty.” Banyak yang bilang dengan mata sipitku dibalik kerudung, aku terlihat cantik.
Tak terasa sudah hampir 2 tahun aku menetap di masjid itu, anakku sudah sekolah di SD dekat masjid milik yayasan dan tanpa membayar sepeser pun. Aku hanya membelikan seragam dan alat2 sekolah. Bahagianya hatiku melihat anakku sudah masuk sekolah …ohh! seandainya mas Fariz masih ada dan melihat anak kita pada hari pertama pergi ke sekolah.
Anakku rupanya tumbuh besar dalam keprihatinan, sehingga dia sangat tahu diri. Dia tak pernah sekalipun merengek2 minta dibelikan ini itu seperti layaknya anak lain. Pernah hatiku amat pilu. Ketika dia pulang sekolah dengan kaki telanjang, sambil menenteng2 sepatunya. Sambil tertawa, tanpa mengeluh, dia justru menunjukkan sepatunya kepadaku.
“Ma, sepatu Faisal udah minta makan”. Maksudnya sepatunya udah robek depannya, seperti mulut minta makan. Melihat dia tertawa, akupun ikutan tertawa, walau hatiku rasanya ingin menangis. Andai dia tahu, dulu mamanya selalu memakai sepatu berharga jutaan rupiah, sekarang ini membelikan sepatu anaku yang murah pun aku belum sanggup. Alhasil selama 2 hari anakku ke sekolah memakai sepatu yang robek itu, sampai akhirnya aku belikan sepatu bekas. yang lebih layak dipakai.
Aku bersyukur mempunyai anak yang amat tahu diri. Tak mau membebani ibunya. Memang anak saleh yang akan menjadi bekal amat bernilai buat orangtua. Pak Imam masjid kadang menengok kami dan menanyakan keadaan kami. Dia sering cerita, bagaimana istri nabi Muhammad SAW hidup jauh lebih menderita, tapi tetap tabah dan tidak goyah imannya. Beliau kadang bilang, kalau aku pasti akan jadi ahli surga. Berulangkali dia bilang, kalau orang lain tidak akan sanggup menghadapi cobaan ini, tapi aku tetap bertahan memegang keyakinan, meninggalkan kenikmatan dunia yang justru pernah aku peroleh.
Suatu siang, aku melihat ada mobil datang ke halaman masjid. Dari dalam mobil itu keluar 2 orang yang aku masih kenal. Yang satu bernama tante Grace, yang satunya oom Albert. Mereka lawyer untuk perusahaan dan keluarga kami. Entah bagaimana mereka bisa mengetahui aku ada disini. Mereka membawa sebundel amplop, dan mengajak aku berbicara. Aku bisa lihat mata tante Grace yang memerah menahan air mata sewaktu melihat tempat aku tinggal. Bahkan oom Al bert suaranya bergetar, lehernya tersekat menahan sedih. Mereka katakan diutus oleh orang tua kami. Karena orang tua kami sudah tahu bagaimana keadaan ku sekarang. Mereka katakan didalam amplop yg mereka pegang isinya surat2 bank, ATM, Ijasahku, yang bisa aku miliki lagi. Bahkan aku dijemput untuk pulang ke rumah mama papaku.
Sejenak aku berbahagia, aku pikir orang tuaku sudah terbuka hatinya, aku bisa pergunakan uang yang cukup banyak itu untuk hidup yang lebih baik. Tetapi dengan suara terpatah2 oom Albert melanjutkan, bahwa mama dan papa memberi syarat. Ketika aku tanyakan apa syaratnya. Mereka berdua nyaris tidak sanggup melanjutkan pembicaraan.
Tante Grace makin menunduk menahan tangis. Akhirnya oom Albert mengatakan kalau syaratnya aku dan anakku harus kembali ke keyakinan yang dulu aku anut. Saat itu juga aku langsung menjawab, kalau aku tak akan mau menerima amplop itu, dan aku katakan agar dikembalikan ke orang tuaku. Mereka amat sangat minta maaf padaku, karena mereka tahu aku tersinggung. Tapi aku juga sadar mereka hanya menjalankan tugas. Bahkan tante Grace menambahkan, andai mengikuti hati nurani pasti mereka sudah serahkan itu amplop padaku tanpa syarat apapun, tapi mereka terikat profesi mereka. Mereka pamit meninggalkan aku. Tapi beberapa waktu kemudian mereka kembali lagi, aku pikir mereka akan membujukku. Tapi rupanya mereka berinisiatif memfoto copy ijasah2 aku dan menyerahkan copy-nya ke aku. Mereka lakukan atas inisiatif mereka sendiri dengan resiko kehilangan pekerjaan. Mereka katakan hanya itu yang bisa mereka bantu untukku. Oh terima kasih Tuhan … Sedikit2 Tuhan memberikan jalan untukku. Akhirnya aku mempunyai bukti kalau dahulu aku pernah sekolah tinggi sampai di luar negeri untuk meraih gelar Master di bidang Keuangan.
Rupanya Allah SWT sudah cukup mengujiku, dan sepertinya aku mulai diberikan rewards atas ketabahanku selama ini. Tuhan mulai memberikan jalan yang terang untuk ku. Suatu pagi di halaman masjid tampak 2 orang perempuan sedang mengamati bangunan masjid. Satunya seorang bule entah dari negeri mana, sedangkan satunya lagi perempuan lokal. Kebetulan pak tua sedang di halaman Masjid, sehingga mereka menghampirinya. Masjid kami ini memang unik, karena merupakan bangunan tua, dengan arsitektur Melayu kuno, sehingga kadang sering dikunjungi orang, dan biasanya pak tua lah yang menjadi juru bicara, karena memang dia paling tahu sejarah masjid tersebut. Aku pun banyak mendapatkan cerita dari pak tua tentang masjid ini sehingga aku tahu banyak pula tentang sejarah masjid kami.
Aku hanya memperhatikan dari jauh, 2 orang pengunjung itu ngobrol dengan pak tua, sampai akhirnya aku melihat si bule agak kebingungan. Didorong rasa ingin tahu, aku pun menghampiri mereka. Dengan sopan aku memperkenalkan diri dan menawarkan diri untuk membantu. Ternyata si bule itu adalah mahasiswi Arsitektur dari Australia yang sedang melakukan study, sedangkan pendampingnya adalah mahasiswi Arsitektur dari universitas T di kotaku yang bertugas sebagai penterjemah, panggil saja ‘Retno’. Rupanya mahasiswi lokal itu kurang lancar bahasa Inggrisnya sehingga membuat si bule kebingungan mendengar terjemahan cerita dari pak tua. Dengan sopan aku ajukan diri untuk membantu si bule itu.
Dengan bahasa inggris yang sangat lancar aku ceritakan dari awal sampai akhir semua tentang masjid tersebut. Aku ajak pula berkeliling ke tiap sudut masjid. Si bule bertambah takjub ketika aku katakan pernah study di negerinya. Retno terus memandangiku setengah tidak percaya tentang diriku. Setelah puas mendapatkan informasi, sebelum pulang Retno berjanji akan menemuiku kembali segera, ada yang ingin dia tanyakan lebih banyak tentang diriku katanya. Aku dengan senang hati akan menerima kedatangannya kapan saja.
Beberapa hari kemudian Retno memang benar-benar kembali datang menemuiku, kali ini dia sama sekali tidak membicarakan perihal arsitektur masjid. Tapi tentang diriku. Dia amat ingin tahu tentang diriku, akhirnya aku ceritakan dari awal sampai saat ini tentang perjalanan hidupku. Dia amat bersimpati dan berkeinginan menolongku. Walau aku tidak mengharapkan pertolongan orang lain, tetapi aku menghargai niatnya membantu. Dia bilang dengan pendidikanku dan kemahiranku berbahasa asing, pasti aku akan dapatkan pekerjaan, apalagi aku sekarang sudah mempunyai bukti fotocopy ijasahku. Seminggu kemudian dia kembali datang kepadaku, dan menyuruhku membuat surat lamaran, bahkan dia sendiri yang membawa kertas dan amplopnya. Dia katakan Rektorat Universitas memerlukan beberapa tenaga honorer. Aku terharu ada orang lain yang peduli mau membantuku tanpa pamrih, aku ucapkan banyak terimakasih padanya.
Bagiku dia seperti diutus Tuhan untuk menolongku. Tidak lama kemudian aku mendapat kabar gambira, aku dipanggil menghadap ke Rektorat universitas-nya untuk test dan wawancara. Sebelum berangkat aku shalat memohon kepada Allah agar diberikan kelancaran. Anakku aku titipkan pada Pak Tua yang memang sudah aku anggap sebagai orang tuaku sendiri.
Alhamdulillah semua test kulalui dengan lancar bahkan saat wawancara bahasa Inggris, justru aku yang lebih menguasai bahasa Inggris dibanding yang mewawancaraiku. Dia sampai menyerah dan mengatakan bahasa Inggrisku sudah perfect melebihi kemampuan dia.
Tidak sampai seminggu, Retno mendatangiku lagi, kali ini dia tampak gembira sekali, dia katakan dalam beberapa hari aku akan mendapat surat dari Rektorat yang isinya penerimaan aku sebagai karyawan. Dia bisa lebih dulu tahu karena ada temannya yang bekerja disana. Langsung saja aku menuju masjid dan bersujud syukur lama sekali. Aku merasa telah lulus segala test yang diujikan Allah terhadapku. Memang kadangkala aku sering bertanya pada Allah, apakah karena aku mua laf sehingga Allah kurang percaya dengan keimananku, sehingga perlu mengujinya dengan ujian yang amat berat. Walau sebagai karyawan honorer tapi aku sudah bersyukur, yang penting aku sudah memperoleh penghasilan yang layak. Pekerjaanku membantu Bagian Keuangan di Rektorat, memang sesuai dengan ilmuku, tetapi mulai banyak orang yang tahu kalau aku lulusan dari luar negeri. Setiap ada seminar dan memerlukan makalah dalam bahasa Inggris pasti aku yang diberikan tugas tambahan untuk menyusunnya.
Akupun banyak membantu menterjemahkan litelatur2 asing untuk dipergunakan para mahasiswa. Nyaris sejak 3 tahun terakhir, aku tidak pernah membeli baju baru. Dengan gajiku sekarang aku sudah bisa membeli lagi. Aku amat sangat senang bukan main, bisa membelikan pakaian yang bagus2 untuk anakku. Bahagia rasanya melihat anakku bisa aku berikan pakain yang layak. Pakaian sekolahnya sudah menguning, sekarang sudah aku belikan yang baru, putih bersih, dan juga sepatu baru. Sepatunya yang dulu robek, masih aku simpan sebagai kenangan.
Beberapa bulan kemudian aku sudah mampu mengontrak rumah sendiri. Sebelum aku meninggalkan Masjid tersebut tidak lupa aku berpamitan ke rumah pak Imam, aku ucapkan banyak terimakasih atas pertolongannya, beliau mengatakan yang menolong bukan dia tetapi Allah SWT yang menolongku. Aku memeluk dia lama sekali, dan aku katakan dahulu aku mengucapkan syahadat di depan dia, dan aku tidak akan pernah mengingkarinya seumur hidupku, apapun yang terjadi.
Sebelum pergi, aku sempat memandangi kamarku untuk terakhir kali, sempat beberapa menit aku tertegun, membayangkan, mungkin kelak ruangan ini akan dipakai oleh orang2 yang senasib seperti aku. Aku berharap Semoga Allah memberi kekuatan.
Setelah aku melewati segala cobaan, Allah tampaknya terus menerus memberi semacam rewards kepadaku, belum genap setahun aku bekerja, pihak Rektorat memberi kabar kalau statusku akan di tingkatkan menjadi karyawan tetap. Bahkan beberapa dosen senior menawariku untuk membantu mengajar. Memang rekan2 kerjaku mengatakan kalau karirku amat bagus sebab orang dengan kemampuan sepertiku amat dibutuhkanMereka bilang, kesuksesanku hanya menunggu waktu saja.
Aku hanya bisa mengucap puji syukur Alhamdulillah. Andai dulu aku sering berdoa dengan linangan air mata kesedihan, sekarang pun aku masih sering menangis ketika berdoa, tapi kali ini aku menangis bahagia.
Sampai saat ini aku masih sendirian, aku bertekad membesarkan anakku sebaik2nya. Bagiku aku masih merasa istri mas Fariz. Masih sulit rasanya menggantikan dia dihatiku. Seperti yang aku pernah katakan, dia bukan hanya suami, tetapi soulmate ku, dan tidak tergantikan. Tetapi entah kalau Allah mempunyai rencana lain untukku. Tiap memandang anakku, aku seperti melihat mas Fariz. Seperti dia masih mendampingiku.
Alhamdulilah dengan penghasilanku sekarang ini aku kini bahkan sudah mampu membeli sepeda motor untuk keperluan transportasiku. Kadang di akhir pekan aku berboncengan dengan anakku jalan-jalan berekreasi. Kadangkala aku sengaja lewat di depan rumah orang tuaku, sambil aku katakan bahwa itulah rumah opa dan oma. Sering anakku bertanya, “Ma kapan kita pergi main ke rumah oma-opa? ” Aku tidak bisa menjawab, karena menahan air mata …
Walaupun begitu aku terus berdoa, semoga suatu saat kelak, kedua orangtuaku dibukakan pintu hatinya, kalaupun tidak mau menerima aku lagi, mohon terima anakku, cucunya, darah daging mereka sendiri.
Wassalam,
Mawar.
Demikianlah kisah nyata paling sedih wanita mualaf keturunan cina dalam mempertahankan keyakinan islamnya. Semoga kisah diatas bisa menambah iman dan taqwa kita pada Allah SWT. Amin.
sumber : www.serunik.com>
EmoticonEmoticon